Fikrah Nahdliyah

Oleh: H. Hasjim Abbas
PENGURUS BESAR NAHDLATUL ULAMA
PANITIA PELAKSANA BAHTSU AL-MASAIL NASIONAL
DI PP. BABAKAN CIWARINGIN CIREBON
Tanggal 30-31 Januari 2010
PENDAHULUAN
Terpaut 1kurang dari 9 (sembilan) bulan sejak dideklarasikan 31 Januari 1926 M, telah diselenggarakan Muktamar ke-I Nahdlatul ‘Ulama bersamaan dengannya berlangsung kegiatan “Bahtsu al-Masail al-Diniyah” (pengkajian masalah keagamaan), yakni tepat pada tanggal 13 Rabiul al-Tsani 1345 H/21 Oktober 1926 M. Kegiatan yang berlangsung secara bersamaan antara Muktamar/Munas Alim ‘Ulama dan Bahtsu al-Masail telah menjadi tradisi hingga merambah konferensi wilayah per propinsi dan konferensi cabang per kabupaten atau kota. Tradisi tersebut membuktikan wujud khidmah kepada umat sesuai tujuan Nahdlatul ‘Ulama, “Untuk menyiarkan agama Islam di atas madzhab dengan jalan apa saja yang baik.”[1]
Pada acara perdana abhtsu al-masail al-diniyah 1926 itu telah mengagendakan tema masalah:
ما الذى يجوز الإفتاء به من الأقوال المختلفة بين العلماء الشافعية
Esensi tema tersebut melegitimasikan seleksi fatwa untu mendasari setiap unit jawaban atas masalah keagamaan sebatas transkip doktrin (aqwal) jajaran fuqaha Syafi’iyah berformat kutipan teks dari kitab mu’tabar.
Muqarrarah (ketetapan) yang disepakati oleh mu’tasirin saat itu sebenarnya mereduksi hasil muqarrarah pada arena pembahasan masalah yang mendahului, yaitu “Keharusan bagi umat Islam bermadzhab dengan mengikuti salah satu dari empat madzhab yang telah terbukukan.”[2] Data muqarrarah bahtsu al-masail tahun 1926 telah mencitrakan karakteristik (ma’alim) NU dalam tradisi intelektualnya amat apresiatif terhadap hazanah pemikiran ulama madzhab Sunni masa lalu.
Proses kerja bahtsu al-masail baru mengambil bentuk ilustrasi lajnah berkat rekomendasi dari Muktamat ke-28 di Yogyakarta pada tahun 1989, yang realisasinya berupa Surat Keputusan PBNU No. 30/AI.05/5/1990.[3] Lewat dinamika pemikiran yang berkembang pada berulang kali penyelenggaraan halaqah (forum diskusi), maka Musyawarah Nasional Alim-ulama NU tanggal 21-25 Juni 1992 di Bandarlampung berhasil membakukan sistem pengambilan keputusan hukum dalam bahtsu al-masail di lingkungan Nahdlatul-Ulama. Sistem yang dimaksud mencakup: a) Prosedur penjawaban masalah; b) Hirarki dan sifat keputusan bahtsu al-masail; c) Kerangka analisis masalah; dan d) Petunjuk pelaksanaan yang memandu: (1) Prosedur pemilihan qawl/wajah; (2) Prosedur ilhaq; dan (3) Prosedur istinbath.[4] Keputusan Munas Alim-Ulama NU di Bandarlampung tersebut dikukuhkan kembali melalui keputusan Muktamar ke-31 No. V/MNU-31/XII/2004 tentang “Bahtsu al-Masail Diniyah Mudhu’iyah NU” di Donohudan Boyolali, tanggal 1 Desember 2004.
FIKRAH NAHDLIYAH
Sesuai keputusan Musyawarah Nasional Alim-Ulama No. 02 (MUNAS/VII/2006 tanggal 30 Juli 2006 di Surabaya mendefinisikan ‘Fikrah Nahdliyah” sebagai: Kerangka berpikir yang didasarkan pada ajaran ahlussunnah wal-jama’ah yang dijadikan landasan berpikir Nahdlatul-Ulama (Khittah Nahdliyah) untuk menentukan arah perjuangan dalam rangka ishlah al-ummah (perbaikan umat).[5] Definisi tersebut bila dikonsultasikan dengan diktum 3 butir-butir mutiara khittah NU yang disarikan dari keputusan Muktamar NU ke-27 tahun 1984 di Situbondo menegaskan: Dasar-dasar faham keagamaan NU bersumber dari Al-Qur’an, al-Sunnah, al-Ijmak, al-Qiyas dan menggunakan jalan pendekatan bermadzhab yang dipelopori...salah satu dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambaly di bidang fiqih...dan NU mengikuti pendirian bahwa Islam adalah agama fitri, bersifat menyempurnakan dan tidak menghapus nilai luhur yang sudah ada.[6]
Dasar-dasar faham keagamaan tersebut menumbuhkan sikap kemasyarakatan yang merupakan ciri-ciri sebagai berikut: a) Berpola pikir moderat (tawassuth dan i’tidal); b) Pola pikir Tawazun (seimbang, tak terlampau tafrith/pemahaan ajaran agama teramat tekstual, juga tidak cenderung “Ifrath” yakni berlebihan mengatasnamakan kemaslahatan; c) Pola pikir toleran (tasamuh: dapat hidup damai berdampingan dengan kelompok lain sekalipun berbeda aqidah, cara berpikir dan berbudaya); d) Pola pikir reformatif (ishlahiyyah); e) Pola pikir dinamis (tathawwur); dan f) Pola pikir metodologis (manhajiyah).[7]
Kerangka berpikir ke-NU-an tersebut bila diefektifkan untuk mengembangkan faham keagamaan diperlukan langkah pemahaman mendalam, metodologis dan komprehensif.[8] Langkah tersebut dimaksudkan agar pemahaman agama tidak cenderung formalistik, kaku dan keras. Sejalan dengan langkah tersebut diprogramkan pengembangan dakwah dan pemikiran kritis keagamaan, melakukan reaktualisasi dan interpretasi ajaran Islam di kalangan NU.[9] Program yang dimaksud mengarah pada kajian pemikiran konsepsional dan filosofis/interpretatif. Kiranya dapat disadari bahwa pemahaman keagamaan yang amat tekstual tanpa mengikutsertakan metode berpikir di balik  teks bisa menyesatkan. Seperti ditegaskan oleh Imam Syihabudin al-Qarafi:[10]
الجمود على المنقولات ابدا ضلال فى الدين وجهل بمقاصد علماء المسلمين وسلف الماضين
Sikap kaku selamanya terhadap teks (pernyataan tertulis) yang berasal dari kutipan-kutipan menginikasikan kesesatan dalam (berpikir) keagamaan dan tidak memahami apa yang dikehendaki oleh ulama muslim dan para salaf masa lalu.
THARIQAH ISTINBATH AL-AHKAM
Terminologi “Istinbath” dalam tradisi bahtsu al-masail di lingkungan Nahdlatul Ulama disepakati sebagai istilah pengganti yang resmi dibakukan guna menghindari pemaksaan idiom “ijtihad”, karena mainstream ulama NU amat riskan menggunakan idion tersebut. Ketetapan hasil Munas Alim-Ulama NU tahun 2006 di Surabaya menempatkan istinbath sebagai salah satu opsi (pilihan) prosedur dalam sistem pengambilan keputusan hukum Islam. Definisi yang dibakukan untuk “istinbath” adalah: “Upaya untuk mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya dengan menggunakan qawaid ushuliyah.”[11]
Prosedur (thariqah) berikut pilihan cara untuk menggali dan menetapkan hukum syara’ amat bergantung pada tipe masalah yang akan dikaji. Selama ini pengelompokan tipe masalah dipilah menjadi: Masail Diniyah Waqi’iyah, Masail Diniyah Maudlu’iyah dan Masail Diniyah Qanuniyah.
Tipe masalah Waqi’iyah bercorak faktual (kejadian nyata) teramati yang memerlukan kepastian hukum. Cara mengkaji masalah waqi’iyah mirip studi kasus, karena terpusat pada fenomena sosial yang bersifat alamiyah dan tengah berlangsung. Oleh karenanya, yang terpenting adalah pendalaman data yang diperoleh dari sumber pertama, kompleksitas masalah dan aspek-aspek sampingan.[12] Perumusan hukum bertolak dari tashawwur (pendiskripsian) masalah yang mendalam/mendetail mulai dari pengenalan pelaku (komunitas) dan pengkajian dampak dari perbuatan yang dijadikan pusat masalah. Fungsi tashawwur (diskripsi dan identifikasi) masalah harus diikuti dengan penonjolan aspek hukum yang berpotensi menjadi pertimbangan utama (mansya-u al-hukmi). Fungsi pendiskripsian masalah diakui oleh ungkapan bijak:
الحكم على الشيئ جزء من تصوره
Menetapkan hukum atas sesuatu merupakan bagian (tak terpisahkan) dari pemeriannya.
Tipe Masail Maudlu’iyah (tematik/konseptual) bercirikan akar permasalahannya menghajatkan dukungan rancangan pemikiran, ide dasar, landasan teori/doktrin yang content analysis, studi dampak yang pragmatis sesuai kompleksitas masalah dan menerapkan logika berpikir istiqra-i (induktif). Upaya mengkaji maslaah konseptual ini bisa jadi lintas disiplin keilmuan, memperhadapkan banyak dalil naqli dan penalaran aqli, serta memberdayakan teknik analisis yang beragam.
Masail Qanuniyah adalah tipe masalah yang telah siap dirancang untuk didelegasikan menjadi hukum positif negara (RUU) atau telah terlanjur menjadi Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah dan bentuk regulasi yang lain. Langkah perumusan masalahnya harus memprakirakan respon warga negara, reaksi sosial, opini ulama dan faktor-faktor hukum yang bersifat praktis sebagai prasyarat menjadi “latar belakang” dan ditindaklanjuti dengan analisis hukum atas problema hukum syar’i yang diduga kontorversi/kontradiksi pasca uji banding secara intensif dengan doktrin fuqaha dan qanun-qanun serupa di negara lain yang berpenduduk muslim. Hasil akhir pembahasan berupa rekomendasi.
METODE PENETAPAN HUKUM ISLAM
Berpijak pada keputusan musyawarah Nasional alim-Ulama NU tahun 1992 di Bandarlampung tentang: Sistem pengambilan keputusan hukum Islam dalambahtsu al-masail, disempurnakan kemudian menjadi Keputusan Muktamar ke-31 NU tahun 2004 di Boyolali, berikut disampikan petunjuk operasional berintikan “Implementasi metode penetapan hukum Islam dalam bahtsu al-masail Nahdlatul-Ulama:

1.      Pilihan metode dalam penetapan hukum Islam:
a.  Taqrir jama’iy;
b.   Ilhaq (ilhaqu al-masail bi nadhairiha);
c.   Istinbath jama’iy.
Teknik memilih metode taqrir jama’iy atau metode lain adalah berdasarkan hasil usaha maksimal untuk menemukan rujukan qawl atau wajah dari serata kitab mu’tabar yang tergolong atau berafiliasi kepada kutub al-madzahibul al-arba’ah dan setelah dilakukan uji keunggulan kualitas adillah, uji kemaslahatan pendapat, uji kuantitas pendukung pendapat atau berdasar pertimbangan kealiman dan kewara’an ulama yang menyatakan pendapat tersebut.
Untuk jajaran Hanafiyah yang diunggulkan adalah kitab-kitab kategori dhahir al-riwayat, termasuk kitab syarah mukhtashar-nya, diikuti kemudian kitab-kitab ketegori koleksi fatwa;
Untuk jajaran Malikiyah yang diunggulkan adalah kitab-kitab samma’at/riwayat yang berujung kepada Imam Malik, berikut kategori al-mudawwanah yang mengoleksi fiqih tathbiqi madzhab Maliki;
Rujukan pendapat fiqih Syafi’iyah mengunggulkan pendapat Syaikhani, yaitu Imam Rafi’i, Imam al Nawawi (muharrim madzhab Syafi’i), disusul kemudian pendapat yang ternisbahkan kepada generasi mujtahid muqayyad seperti Zakaria al-Anshari, Syihab al-Ramli, Ibnu Hajar al-Haytami, Khathib al-Syarbini dan disusul kemudian oleh ulama pengarang kitab-kitab hawasyi (catatan margin) mengiringi kitab induk ulama yang lebih senior.
Sebagai rujukan pendapat Hanabilah antara lain: al-Mughni yang dikarang oleh Ibnu Qudamah dan karya-karya Manshur bin yusuf al-Bahuti.

2.      Metode Taqrir Jama’iy
Taqrir adalah upaya menetapkan pilihan terhadap satu di antara beberapa pendapat yang termaktub dalam kutub madzahib al-arba’ah dan dilakukan secara kolektif (bersama-sama). Metode ini merupakan implementasi sikap bermadzhab secara quality. Konsekuensi pemanfaatan metode ini adalah keharusan menukil redaksi (ta’bir) kitab yang dipandang mu’tamad pada jajaran ulama madzhab, termasuk landas istidlal (penalaran hukum) yang mendukung sebagai pertimbangan keunggulan mutu pendapat yang bersangkutan. Tentu kejelasan nama pemilik pendapat, judul kitab referensi dan petunjuk data untuk melacak sumber tekstualnya sangat diperlukan. Agar tercapai kadar efisiensi taqrir seyogyanya dibatasi pada kutipan “Ini pendapat” ulama yang diunggulkan.

3.      Metode Ilhaqu al-Masail bi Nadhairiha
Operasional metode ini tepat pada masalah yang dipastikan tidak ada ulama bermadzhab Sunni (madzhab al-arba’ah) yang pernah mengeluarkan pendapat hukum syar’i atas masalah yang dibahas. Ilhaq didefinisikan sebagai upaya menyamakan hukum suatu kasus (baru) yang belum diperoleh pendapat ulama masa lalu dengan kasus yang sudah ada jawaban hukumnya dalam kitab mu’tabar. Dengan ungkapan lain: “Menyamakan suatu kasus (mulhaq) dengan mencari padanan kasus lain (mulhaq bihi) yang sudah jelas hukumnya delam suatu kitab mu’tabar atas dasar bukti persamaan antara keduanya (wajhu al-ilhaq).
Pemanfaatan metode ilhaq yang dilakukan secara jama’iy (kolektif) oleh sekelompokmulhiq yang ahli –lazim disebut oleh fuqaha akademik dengan istilah takhrij- dimaksudkan untuk menghindari masalah yang dinyatakan mauquf (dihentikan sementara kajiannya) karena tidak diperoleh jawaban untu kkepastian hukumnya.

4.      Metode Istinbath Jama’iy
Yang dimaksud dengan istilah “Istinbath Jama’iy” adalah upaya kolektif untu kmengeluarkan hukum syara’ (untu kasus tertentu) dari dalilnya dengan menggunakan qawaid ushuliyah. Pemanfaatan metode istinbath ini merupakan implementasi dari prosedur bermadzhab secara manhaji oleh para ahlinya. Pengoperasian qawaid ushuliyah karena pola kerja metode ini harus mencari dalil nash syar’i dan didekati dengan qawaid lughawiyah untuk menyeleksi interpretasi/syarah atas dalil itu, atau harus mengintegrasikan qawaid ma’nawiyahbila harus menguji cobakan azas-azas ijtihad fi al-madzhab.
Berbeda dengan kesederhanaan metode taqrir jama’iy yang mengandalkan keterampilan menelaah kitab maraji’ yang mu’tabarah pada jajaran madzahib al-arba’ah, metode istinbath membutuhkan kreasi uji coba dalil nash (Al-Qur’an/Sunnah-Hadits) terkait uji kehujjahan, pemaknaan yang kontekstual dan ketetapan dalam pola “Tathbiq al-Syari’ah”. Berhubungan langsung dengan dalil nash syar’i memerlukan penguasaan terhadap qawaid al-istidlal yang ditradisikan sebagai manhaj oleh mujtahid/ulama di jajaran madzahib  al-arba’ah. Kaidah-kaidah ushuliyah yang menjadi teori hukum (legal theory) mujtahid fi al-madzhab harus benar-benar dikuasai.
Fikrah nahdliyah terutama yang berkaitan dengan thariqah istinbath al-ahkam ini diharapkan dapat menumbuhkan sikap pemahaman keagamaan berdasar pemikiran konsepsional, kritis, interpretatif, fleksibel dan dinamis membangun kesadaran beragama umat NU khususnya.
Cirebon, 30 Januari 2010
14 Shafar 1431
Penyaji,
H. HASJIM ABBAS
Wakil Rais Syuriyah PWNU
Jawa Timur


[1] Anggaran Dasar NU produk Muktamar I tahun 1928;
[2] PBNU, Ahkam al-Fuqaha fi Muqarrarati Mu’tamarat Nahdlatul ‘Ulama, Jakarta: Idarah Aliyah al-Syuriyah, 1960, hal. 6;
[3] PP RMI, Majalah SANTRI No. 3 tahun 1990, hal. 22-26;
[4] Lajnah Ta’lif wan-Nasyr PBNU, Keputusan Munas dan Konbes NU di Bandarlampung, 1992, hal 5-8;
[5] Sekjen PBNU, Hasil-hasil Munas Alim-Ulama NU, Jakarta, 2006, hal 90;
[6] Lajnah Ta’lif wan-Nasyr PBNU, Butir-Butir Mutiara Khittah NU; (disarikan oleh HA. Mustofa Bisri);
[7] Sekjen PBNU, Op.Cit, hal. 90-91
[8] Taushiyah Muktamar ke-31 NU tahun 2004, hal. 158;
[9] Program Kerja PBNU Periode 2004-2009 Bab IX;
[10] al-Qarafi, al-Furuq, Daru Ihya-i li al-Kutub al-Arabiyah;
[11] Sejken PBNU, Op.Cit, hal. 95;
[12] Adam Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, jakarta: Raja Grafindo persada, 2000, Jili I, hal. 97-98;


Post: Pesantren al Muawanah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Muqaddimah Pidato/Ceramah di Kalangan Nahdlatul Ulama

Membaca Wirid Dan Doa Setelah Shalat

BENARKAH KEPUTUSAN MUKTAMAR NU I DAN KITAB I’ANAT ATH-THALIBIN MELARANG TAHLILAN?